Detail Artikel


  • 13 Juni 2023
  • 2.220
  • Artikel

Aktivasi Otot Pasien Stroke Dengan Kelumpuhan Melalui Sensasi Taktil Dengan Tekanan

 

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi salah satu provinsi dengan prevalensi kasus penyakit stroke yang tinggi di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)  menempati peringkat kedua dengan prevalensi 14,6% per 1000 penduduk di bawah Kalimantan Timur sebesar 14,7%. Angka ini lebih rendah dibanding provinsi lain yang memiliki populasi penduduk lebih besar. Prevalensi stroke di DIY bias disebut tinggi karena besarnya jumlah penduduk lanjut usia (lansia). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, populasi penduduk lanjut usia mencapai angka 15,75%, naik dibandingkan tahun 2010 sebesar 13,08%. Dengan jumlah penduduk sekitar 3,7 juta jiwa, terdapat  sekitar 577.000 penduduk lanjut usia yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Inilah yang bisa menyebabkan tingginya kasus stroke yang terjadi.

Prevalensi stroke di Indonesia pada 2018 berdasar diagnosis dokter terjadi pada penduduk umur ≥ 15 tahun sebesar 10,9% atau diperkirakan sebanyak 2.120.362 orang (Kemenkes Republik Indonesia, 2018). Prevalensi stroke berdasar data Global Burden of Disease (GBD), 2016 mencapai 17 – 22,9%. Dari data tersebut disebutkan bahwa satu dari empat orang dewasa di dunia akan mengalami stroke. Sehingga terlihat bahwa stroke menjadi masalah Indonesia, demikian pula di tingkat dunia dan terus mengalami peningkatan. Maka sejumlah strategi disusun pemerintah untuk menurunkan prevalensi stroke di Indonesia. Maka dimulai dengan memperkuat upaya promotif preventif kesehatan masyarakat

Penyakit stroke selain menjadi penyebab kematian dan kecacatan juga menimbulkan dampak beban pembiayaan yang sangat tinggi dalam perawatan serta menimbulkan beban ekonomi besar bagi keluarga karena hilangnya waktu produktif keluarga. Hal ini perlu mendapat perhatian serius. Data utilisasi jaminan kesehatan BPJS Kesehatan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan bahwa penyakit stroke, bersama jantung dan gagal ginjal menempati urutan teratas pembiayaan tertinggi di berbagai rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).  Rumah Sakit Panembahan Senopati (RSPS) Kabupaten Bantul, merupakan rumah sakit rujukan kelas B,  dengan jumlah kunjungan pasien stroke salah satu yang tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sementara data kunjungan pasien stroke di satuan kerja fisioterapi rawat jalan Rumah Sakit Panembahan Senopati (RSPS) selama periode tahun 2018-2020, stroke menduduki peringkat ketiga kunjungan tertinggi.

Penderita stroke secara umum selain mengalami gangguan motorik di anggota gerak, antara 65% sampai 85% juga mengalami gangguan sensorik, yang menyebabkan makin sulitnya terjadinya aktivasi otot sehingga aktivitas sehari-hari menjadi sulit dan potensi untuk mencapai kemandirian jalan kaki pasca stroke menjadi berkurang. Defisit sensorik telah terbukti memprediksi hasil fungsional yang buruk setelah stroke, termasuk peningkatan lama rawat inap, tingkat dan jumlah pemulangan rumah yang lebih rendah, dan peningkatan angka kematian. Meskipun sebagian besar pasien stroke yang mengalami kesulitan berjalan akibat kelumpuhan ternyata disebabkan oleh gangguan sensoris, namun penanganan fisioterapi di Rumah Sakit Panembahan Senopati (RSPS) pada gangguan sensori ini belum banyak dilakukan. Tatalaksana yang masih berorientasi kepada upaya penanganan motorik.

Gagasan inovasi bagi pasien stroke yang mengalami kelumpuhan dengan gangguan sensori dilakukan dengan pemberian sensasi taktil (bersifat sentuhan) dengan tekanan oleh fisioterapis pada kaki pasien yang bertujuan untuk aktivasi otot yang mengalami kelumpuhan, dilanjutkan dengan latihan penguatan kaki aktif dengan bantuan hingga nanti dibawa ke gerakan fungsional seperti berjalan. Inisiasi ini membutuhkan akomodasi dalam tata kelola dan ketentuan di rumah sakit yang harus melibatkan unsur baik dari medis, mitra kerja, mitra pendukung, pimpinan dan manajemen rumah sakit. Perubahan dalam bentuk akomodasi tersebut diperlukan untuk menginisiasi perubahan sistemik dalam manajemen layanan. Di sisi lain, telah cukup banyak referensi dan kajian yang mendukung bahwa penanganan gangguan persepsi sensori segera dilakukan penanganan, sehingga dapat dikembangkan dalam layanan oleh manajemen rumah sakit dan akan sangat membantu dalam penyembuhan dan mencegah kecacatan pasien.

 

Penulis : Alwan Bashori,S.ST.Ft. (RSUD Panembahan Senopati)

DAFTAR PUSTAKA

  1. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2018. Tersedia di: https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-2018_1274.pdf
  2. https://kumparan.com/pandangan-jogja/jogja-ayem-tentrem-untuk-lansia-tapi-angka-stroke-tertinggi-kedua-di-indonesia-1xSzCXxBhcf/2
  3. Kim JS, Choi-Kwon S. Discriminative sensory dysfunction after unilateral stroke. Stroke. (1996) 27:677–82. doi: 10.1161/01.STR.27.4.677
  4. https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20221011/4641254/tingkatan-kualitas-dan-layanan-stroke-lewat-transformasi-kesehatan/

Kontak Kami

JL. Gondosuli No.6 Yogyakarta Kota Yogyakarta DIY 55231 Indonesia
dinkes@jogjaprov.go.id
+62274563153
(0274)512368

Kunjungan

  • Hari Ini

  • 24.646
  • Bulan Ini

  • 1.728.429
  • Total Kunjungan

  • 21.583.967