Detail Artikel


  • 30 Maret 2019
  • 47.723
  • Artikel

Sindroma Obstruksi Pasca Tuberkulosis

 â€œDok, saya telah menyelesaikan pengobatan paru-paru selama 6 bulan, tapi kok nafas saya masih kempis-kempis dan masih batuk. Tolong saya diberi obat biar nafas saya plong”

Pendahuluan

Hingga saat ini, Permasalahan Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan yang pelik karena 1/3 penduduk dunia terinfeksi kuman TB. Perkiraan jumlah kasus baru TB pada tahun 2010 adalah sebanyak 8,8 juta, dimana 1,1 juta meninggal karenanya. Di tahun yang sama, Indonesia menduduki peringkat ke 4 sebagai penyumbang penderita TB di dunia setelah India, China dan Afrika Selatan. Penemuan kasus baru setiap tahunnya sebanyak 450.000 orang dengan menyebabkan kematian 64.000 per tahun. Hasil Survei yang dilakukan tahun 2007 menunjukkan bahwa TB sebagai penyebab kematian terbesar untuk penyakit infeksi di Indonesia. Fenomena yang memperparah keadaan TB adalah bahwa dalam satu tahun, penderita TB dapat menularkan 10-15 orang. Alhasil dipastikan kasus TB akan semakin meluas bila tidak dilakukan pemutusan rantai penularan, yang hanya bisa dilakukan dengan 1 cara, menemukan penderita TB untuk segera diobati.

Sejak bergulirnya sistem pengobatan modern, keberhasilan terapi TB meningkat tajam dibandingkan dengan masa sebelumnya. Sayangnya, pada beberapa pasien TB yang sudah mengalami penyembuhan, bukan berarti keluhan penyakit paru pun akan selesai juga. Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, sejumlah besar penderita sembuh setelah terapi pengobatan TB, namun pada sebagian penderita, timbul sesak napas secara klinik, terutama pada saat aktivitas. Gambaran radiologis  menunjukkan adanya  bekas tuberkulosis paru (fibrotik, kalsifikasi). Senada dengan uji fungsi paru yang juga menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Cerita keluhan di awal tulisan merupakan potret sebagian penderita TB yang sudah dinyatakan sembuh tetapi masih mengalami keluhan batuk dan sesak napas dikenal dengan nama SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberkulosis).

Apa itu SOPT?

Suatu kelainan obstruksi yang berhubungan dengan proses TB dikenal dengan berbagai nama. Cugger 1955 menyebutnya emfisema obstruksi kronik. Martin dan Hallet menggunakan istilah emfisema obstruksi difus. Bomberg dan Robin menyebutnya sebagai emfisema obstruksi difus. Lain halnya dengan Vargha dan Bruckner yang menyebutnya sindrom ventilasi obstruksi. Oleh Tanuwiharja, kelainan ini disebutnya sindrom obstruksi difus. Di Unit Paru RSUP Persahabatan Jakarta, kelainan obstruksi pada penderita TB paru didiagnosis sebagai TB paru dengan sindrom obstruksi, sedangkan kelainan obstruksi pada penderita bekas TB paru didiagnosis sebagai obstruksi pasca TB (SOPT). 

Prevalensi kejadian sindrom obstruksi pada TB paru bervariasi antara 16%-50%. Pada beberapa pasien TB paru, sembuh secara mikrobiologi adalah permulaan dari episode penyembuhan, bukan akhir dari penyakit. Gangguan-gangguan fungsi paru sebagai manifestasi komplikasi TB sering diabaikan, padahal penderita sering mengalami beragam pola manifestasi terutama keterbatasan aliran udara.

Baru-baru ini, Obstruktif kronik penyakit saluran udara sebagai komplikasi TB paru kembali dipelajari di banyak negara. Dalam catatan GOLD, tuberkulosis berperan dalam munculnya obstruksi saluran napas kronis. Menurut GOLD, bronkitis kronis atau bronchiolitis dan emfisema dapat terjadi sebagai manifestasi komplikasi tuberkulosis paru. Sebuah studi dilakukan untuk menilai dampak TB paru pada prevalensi PPOK, menemukan bahwa prevalensi PPOK meningkat 3,7-5% jika ditambahkan populasi orang dengan kriteria pengobatan TB pada masa lampau.

Hnizdo et al (2000) melaporkan bahwa 18,4% sampel yang mengalami TB aktif satu kali mengalami sindrom obstruksi pasca TB, 27,1% yang mengalami 2 episode TB dan 35,2% yang menga;ami 3 episode TB.

Penelitian Baig et al (2010), 55,3 % pasien pasca TB menderita kelainan ventilasi obstruksi dengan derajat parah 69,2 %, moderat 23,0% dan ringan 5,9 %. Hasil penelitian juga menunjukkan 57,6% obstruksi paru terjadi pada subjek yang telah diobati TB 10-15 tahun yang lalu. Penelitian sebelumnya telah juga menunjukkan bahwa penurunan pola obstruktif paru umum terjadi pada penderita TB paru.

Penelitian lain yang dilakukan Radovic et al (2011), menyatakan 35% pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan mengalami Chronic Airflow Obstruction (CAO) Syndrome. Penyakit ini sering menjadi konsekuensi kerusakan saluran napas selama proses pengobatan TB walaupun tanpa kehadiran faktor resiko PPOK seperti merokok, polusi indoor dan outdoor. Pengobatan pada pasien TB merupakan salah satu faktor resiko kelainan fungsi paru. 

Patogenesis

Munculnya sindrom obstruksi pada TB paru yang mengarah ke timbulnya sindrom pasca TB sangat kompleks; pada penelitian terdahulu dikatakan akibat destruksi jaringan paru oleh proses TB. Kemungkinan lain adalah akibat infeksi TB, dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan sehingga menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat dideteksi secara spirometri.

Gangguan faal paru akibat proses tuberkulosis paru berupa kelainan restriksi dan obstruksi telah banyak diteliti; kelainan yang bersifat obstruksi dan menetap akan mengarah pada ter- jadinya sindrom obstruksi pasca TB (SOPT). Destruksi parenkim paru pada emfisema menyebabkan elastisitas berkurang sehingga terjadi mekanisme ventil yang menjadi dasar terjadinya obstruksi arus udara. Emfisema kompensasi yang ditemukan pasca reseksi paru dan akibat atelektasis lobus atas karena TB paru seharusnya tidak obstruktif. McCanel (2010) pada emfisema karena sekuele TB terjadi destruksi dan dilatasi pada dinding alveoli hingga bronkiolus terminalis akibat proses fibrosis. Proses tersebut menyebabkan perubahan permanen dari struktur paru karena kehilangan elastisitas pada bronkiolus yang menyebabkan gangguan obstruksi yang ditandai adanya penurunan FEV1.

Gaensler dan Lindgren berpendapat bahwa bronkitis kronis spesifik lebih mungkin merupakan faktor etiologi timbulnya emfisema obstruksi pada tuberkulosis paru dibandingkan dengan over distention jaringan paru di dekat daerah retraksi. Bell berhasil menimbulkan bula emfisematous pada kelinci yang ditulari mikobakterium tuberkulosis secara trakeal dan menyimpulkan bahwa proses emfisema dimulai dengan destruksi jaringan lalu diikuti ekspansi. Vargha dan Bruckner menyatakan bahwa bronkitis kronis difus yang disebabkan sekret dari kavitas menimbulkan kelainan obstruksi.

Lee et al (2011) riwayat TB berhubungan dengan fungsi paru oleh karena adanya kerusakan pada pleura, stenosis bronkhial, dan parenkim. TB meningkatkan akitivitas matrix metalloproteinase yang berkontribusi pada kerusakan paru. Perluasan lesi TB akan menimbulkan restriksi, dengan menurunnya transfer karbonmonoksida di paru. Adanya lesi yang kecil pun pada paru dapat menjadi resikomunculnya obstruksi jalan napas. Faktor yang berperan adalah fibrosis jalan napas dan peradangan. Infeksi TB berhubungan dengan fibrosis dan respon imun dari infeksi mycobacterium menyebabkan peradangan saluran napas dan berdampak pada obstruksi paru.

Pada fibrosis paru pasca TB meninggalkan lesi pada bronchus dan trakea menyebabkan gangguan obstruksi. Akibat obstruksi menyebabkan sesak napas saat ekspirasi dengan adanya wheezing, gangguan ventilasi-perfusi dan penurunan FEV1 pada pemeriksaan fungsi paru (Mc Canel et al, 2010).

Gejala SOPT

Kontak Kami

JL. Gondosuli No.6 Yogyakarta Kota Yogyakarta DIY 55231 Indonesia
dinkes@jogjaprov.go.id
+62274563153
(0274)512368

Kunjungan

  • Hari Ini

  • 110.541
  • Bulan Ini

  • 1.728.429
  • Total Kunjungan

  • 20.002.410