Program Dokter Layanan Primer: Pentingkah?
Beberapa bulan yang lalu Mahkamah Konstitusi menolak judical review
UU Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (termasuk di
dalamnya pasal tentang Dokter Layanan Primer dan Uji Kompetensi Dokter
Indonesia.
Apa dan bagaimana sebenarnya Dokter Layanan Primer yang menjadi isu
hangat dunia kesehatan akhir-akhir ini? Bagaimanakah Program Pendidikan
Dokter Spesialis Layanan Primer yang akan segera berjalan?
Padahal dalam praktik sehari-hari, secara tidak langsung dokter umum yang berada di tingkat layanan primer seperti puskesmas tidak melakukan pengobatan saja terhadap pasien yang datang, tapi juga melaksanakan upaya promotif dan preventif yang diharapkan pemerintah sebagai keluaran dari DLP. Menurut UU No. 20 tahun 2013 tentang sistem JKN, dijelaskan bahwa yang menjadi PPK di tingkat primer adalah dokter layanan primer, bukan dokter umum seperti yang selama ini dikenal. Maka, nantinya dokter umum hanya bisa berpraktik di fasilitas kesehatan yang tidak menerima peserta BPJS. Sebenarnya, tidak ada perbedaan yang nyata antara dokter layanan primer dan dokter umum, kecuali dari aturan sistem JKN tersebut.
Ilusrasi Dokter. Sumber: internet |
Kemungkinan besar program Dokter Layanan Primer adalah suatu isu politik, yang berarti bahwa setiap periode, pemerintah memiliki kebijakan yang berbeda dalam menunjukkan inovasinya pada masing-masing sektor, salah satunya sektor kesehatan. Dengan menurunnya jumlah masyarakat yang datang ke layanan primer ( puskesmas), pemerintah beranggapan pelayanan primer saat ini gagal. Tapi, bisa saja penyebab dari penurunan tersebut berasal dari pelaksanaan dari sistem JKN itu sendiri. Masyarakat kurang paham tentang alur pengobatan dari tingkat layanan primer sampai tersier dan adanya pengobatan gratis sebagai peserta BPJS membuat masyarakat lebih ingin datang berobat ke poliklinik di rumah sakit.
DLP bertujuan untuk memperbaiki pelayanan kesehatan di tingkat primer, karena banyak dokter umum yang melanjutkan pendidikannya ke tahap spesialisasi, sehingga SDM dokter di tingkat primer berkurang atau banyak dokter umum yang tidak memiliki kompetensi family oriented. Oleh karena itu, pada semester ganjil 2016 nanti akan dimulai Program Pendidikan Dokter Spesialis Layanan Primer dengan masa pendidikan 3 tahun atau bagi dokter umum yang sudah berpraktik minimal selama 5 tahun dapat menempuh pendidikan tersebut dalam waktu 6 bulan.
Karena hanya DLP yang dapat menangani pasien yang terdaftar sebagai peserta BPJS, maka kebijakan ini memaksa dokter umum ataupun calon dokter “mau tidak mau†harus mengikuti pendidikan lagi atau menambah masa pendidikannya. Jika dokter umum tetap bertahan pada statusnya sebagai dokter umum, sudah pasti di kemudian hari dia tidak akan memiliki pasien yang datang ke tempat praktiknya. Hal ini sesuai dengan rencana pemerintah, bahwa tahun 2019 ditargetkan semua masyarakat Indonesia menjadi peserta BPJS.
Metode pembelajaran yang akan dilaksanakan sebagian besar adalah program pendidikan jarak jauh melalui e-learning. Akan tetapi, jaringan komunikasi yang kuat tidak tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia, sehingga dokter yang berada di daerah terpencil harus menunggu lebih lama untuk dapat mengikuti program pendidikan ini.
Selain itu, pendapatan DLP dilakukan dengan sistem kapitasi. Pemerintah mengharapkan dengan adanya sistem kapitasi ini, DLP akan semakin termotivasi untuk menerapkan upaya promotif dan preventif yang efisien. Seorang DLP nantinya akan melayani 2500-3000 peserta JKN dengan pembiayaan sekitar 30% dari total iuran yang dibayarkan oleh peserta JKN. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan oleh PPK khususnya di tingkat primer. Sistem pendapatan DLP akan didasarkan pada kasus yang ditangani dengan biaya yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pada masing-masing kasus. Apabila DLP tidak mampu menyelesaikan kasus pasien dengan biaya yang sudah ditetapkan, maka dokter tersebut harus bersiap membayar kelebihan biaya pasien dari pendapatan pribadi.
Pemerintah seolah-olah memperbarui sistem bukan memperbaikinya. Pembaruan sistem pendidikan kesehatan ini masih menjadi suatu problematika meski waktu pelaksanaan sudah di depan mata. Dalam memutuskan kebijakan pun, pemerintah tidak mendiskusikan terlebih dahulu dengan organisasi profesi yaitu IDI dan ISMKI sebagai pihak yang akan terlibat langsung dalam pelaksanaannya. Terkait hal itu dan berbagai masalah yang ditimbulkan, IDI pun menolak program pendidikan DLP berdasarkan surat keputusan IDI yang dikeluarkan 4 Desember 2015 lalu.
Menurut Kementrian Kesehatan dan Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi RI, sebanyak 17 fakultas kedokteran berakreditasi A di Indonesia akan membuka pendidikan spesialisasi layanan primer, salah satunya adalah Universitas Andalas. Bagaimanakah tindak lanjut terhadap persiapan FK Unand untuk melaksanakan program Pendidikan Dokter Spesialis Layanan Primer?
Mari kita tunggu jawabannya (agp 2.0)