Detail Artikel


  • 20 Desember 2016
  • 2.695
  • Artikel

Kajian Strategis Dokter Layanan Primer

Dunia Kedokteran Indonesia dari tahun ke tahun terus berubah, seiring dengan peraturan baru dari pemerintah yang tergolong sangat berani. Perubahan yang saat ini menjadi pembahasan salah satunya Dokter Layanan Primer (DLP). DLP masuk ke dalam UU no 20 tahun 2013 yang mengatur tentang Pendidikan Kedokteran. Perbincangan tentang DLP terus bergulir sejak saat itu dan menjadi perdebatan oleh organisasi – organisasi kedokteran di Indonesia.
DLP disebut – sebut sebagai dokter umum setara spesialis. Penamaan tersebut mengundang banyak kontroversi karena tidak mungkin menspesialisasi sesuatu yang general atau umum. Ditambah lagi kompetensi dari Dokter Umum dan Dokter Layanan Primer tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Masalah yang paling utama dan menjadi perhatian dari organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Mahasiswa Indonesia adalah kejelasan nasib dokter umum yang akan lulus dan yang sudah lulus.
Kehadiran DLP dapat membuat masyarakat lebih tidak percaya terhadap kualitas dokter umum yang ada di Indonesia. Hal ini akan berdampak buruk bagi dunia kesehatan Indonesia. Padahal perbedaan kompetensi antara dokter umum dan DLP secara jumlah penyakit berbeda tipis yaitu 144 untuk dokter umum dan 155 untuk DLP. DLP juga dibedakan karena memiliki kemampuan lebih yaitu ilmu kedokteran komunitas dan keluarga serta komunikasi. Ilmu – ilmu tersebut adalah ilmu diluar penyakit yang seharusnya dapat diperdalam melalui workshop atau seminar tidak perlu membuat program studi baru. Sehingga sejatinya Dokter Umum dan DLP tidak memiliki perbedaan namun berpotensi menyebabkan masalah.
Pembukaan dokter layanan primer menurut IDI akan meningkatkan pengeluaran APBN karena simulasi untuk pelaksanaan DLP memerlukan 30-50 tahun belum termasuk lulusan dokter umum yang lulus tiap tahun bertambah. Melihat hal tersebut pemerintah seharusnya dapat menilai bahwa DLP merupakan program yang membutuhkan waktu panjang dan uang yang tidak sedikit tapi hanya menghasilkan perubahan yang kurang signifikan dan cenderung menimbulkan masalah kedepannya. Bila dilihat dari segi kompetensi, dokter umum sudah cukup untuk berkerja pada fakses 1 atau layanan primer hanya membutuhkan penyebaran agar merata.
Dokter layanan primer akan menghasilkan lulusan yang jauh lebih sedikit dari lulusan dokter umum yang kurang lebih 8000/tahun. Isu lain yang juga memberatkan dokter umum nantinya adalah BPJS hanya akan berkerja sama oleh dokter layanan primer, sehingga mau tidak mau dokter umum yang tidak mencari spesialisasi akan mencari dokter layanan primer tapi apakah mampu pendidikan dokter layanan primer menampung seluruh dokter umum? tentunya tidak, lalu bagaimana nasib dari dokter umum yang tidak bisa mengambil spesialisasi dan DLP? Selain masalah kuota, penamaan gelar dan pekerjaan dari dokter layanan primer tidak berhubungan dan cenderung tumpang tindih dengan pekerjaan dari dokter umum.
Nama DLP menurut IDI tidak dikenal di dunia internasional. Dokter Layanan Primer di Negara lain memiliki arti kumpulan dari dokter yang melayani di fasilitas kesehatan primer yang didalamnya berisikan dokter umum, dokter keluarga, dan dokter spesialis lainnya. Gelar dari dokter layanan primer menurut Dr. dr. Czeresna. H. Soedjono, Sp.PD-KGer adalah Sp.FM (Spesialis FAMILY MEDICINE) yang artinya DLP lebih cocok disandingkan dengan dokter keluarga. Pekerjaan yang diberikan untuk DLP seharusnya dapat dilakukan oleh dokter umum contohnya mengutamakan preventif seperti mengenal prevalensi dari penyakit di lingkungan faskes serta merancangkan program pencegahan sebelum terkena penyakit. Semua hal tersebut dapat dilakukan oleh dokter umum, tetapi kehadiran dokter layanan primer nanti berpotensi mengambil lapangan pekerjaan dari dokter umum.
Dokter layanan primer bukan jawaban untuk Indonesia. Masih banyak hal yang dapat diselesaikan terlebih dahulu, seperti moratorium FK, hentikan komersialisasi dunia kedokteran, pemerataan dan penyediaan fasilitas kesehatan dan juga para dokter umum. Pembukaan DLP dapat menimbulkan masalah sebagai berikut :
Pemborosan APBN
Tata kerja terganggu di tingkat primer karena tidak ada batas jelas pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh DLP. Sehingga dokter umum dan DLP cenderung tumpang tindih
Masyarakat akan memandang sebelah mata dokter umum karena menganggap kemampuan DLP seperti spesialis lainnya yang artinya lebih baik dari dokter umum.
Dokter umum yang bekerja di primer akan kehilangan pekerjaannya digantikan oleh DLP, sedangkan kuota dokter umum jauh lebih besar dari DLP
Melihat masalah tersebut Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana menolak pelaksanaan Dokter Layanan Primer, dan mendorong untuk :
RUU PERUBAHAN untuk UU No.20 tahun 2013 masuk program prioritas legislasi nasional (PROLEGNAS)
Penghentian segala bentuk aktivitas Dokter Layanan Primer di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Adapun solusi yang dapat ditawarkan untuk perbaikan sektor kesehatan dan kedokteran Indonesia :
APBN untuk DLP lebih baik dialihkan untuk penyediaan sistem infrastruktur kesehatan yang lebih baik
Dokter umum digerakkan untuk melayani di pelayanan primer
Materi yang terkandung dalam DLP lebih baik dibuat menjadi seminar dan workshop atau dibuat menjadi fellowship tidak menjadi program studi
Program studi DLP lebih baik disesuaikan dengan gelarnya yaitu spesialisis dokter keluarga (Sp.FM) dan fungsinya disesuaikan dengan gelar spesialisasi tersebut yaitu pendalaman dan pendekatan pada keluarga yang ditugaskan, bukan membahas dikaitkan dengan pekerjaan di faskes primer yang menjadi tugas dokter umum.

Kontak Kami

JL. Gondosuli No.6 Yogyakarta Kota Yogyakarta DIY 55231 Indonesia
dinkes@jogjaprov.go.id
+62274563153
(0274)512368

Kunjungan

  • Hari Ini

  • 11.867
  • Bulan Ini

  • 1.728.429
  • Total Kunjungan

  • 20.884.044