Akreditasi Sebagai Upaya Optimalisasi Mutu Pelayanan RS di Era JKN-KIS
Pemerintah
Indonesia melalui Kementerian Kesehatan berkomitmen menerapkan target program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan cakupan kepesertaan semesta atau universal health coverage (UHC) pada
2019. Artinya pada tahun 2019 ini minimal 95% penduduk Indonesia telah
terdaftar menjadi peserta JKN-Kartu Indonesia Sehat (KIS). Efek dari kebijakan
itu banyak menimpa rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan, khususnya
dalam hal kesiapan akreditasi sebagai salah satu syarat bekerja sama dengan
BPJS.
Tujuan
dari pencapaian UHC antara lain proses reformasi layanan kesehatan yang
mencangkup aksesibilitas, pelayanan berkualitas serta komprehensif bagi
masyarakat. Rumah sakit didorong untuk menerapkan kendali mutu dan biaya tanpa
menurunkan standar mutu pelayanan, serta kepuasan pasien dapat terus meningkat.
Menurut
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih ada sebanyak 271
rumah sakit (RS) yang menjadi mitra belum reakreditasi hingga per 22 April
2019. Padahal akreditasi RS menjadi syarat mutlak untuk tetap melanjutkan kerja
sama dengan BPJS Kesehatan. Dari 2.202 RS atau Fasilitas Kesehatan Rujukan
Tingkat Lanjutan (FKRTL) yang jadi mitra BPJS Kesehatan, masih ada ratusan
rumah sakit yang belum terakreditasi.
Secara
nasional pada Desember 2018 masih ada 720 RS kerja sama yang belum
terakreditasi. Kemudian tren rumah sakit mitra BPJS Kesehatan yang belum
terakreditasi terus menurun hingga tinggal menjadi 271 RS hingga 22 April 2019.
Berdasarkan rekapitulasi RS yang habis akreditasi atau belum diperbarui serta
RS yang akan habis masa berlakunya Januari hingga Desember 2 sebanyak 482
RS. Akreditasi menjadi salah satu syarat wajib untuk memastikan peserta JKN-KIS
memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
Akreditasi rumah sakit dapat juga dipakai sebagai salah satu cara guna menilai mutu keselamatan pasien dan instrumen untuk mencapai tata kelola organisasi rumah sakit yang baik. Untuk wilayah DIY per Juni 2019, dari 78 rumah sakit yang sudah terakreditasi sudah 65 (83,33 %) rumah sakit seperti terlihat pada grafik berikut. Akreditasi juga bentuk perlindungan pemerintah dalam memenuhi hak setiap warga negara agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan bermutu oleh fasilitas pelayanan kesehatan, selain juga untuk melindungi tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit itu sendiri. Bahkan pentingnya akreditasi disebutkan dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Permenkes 34 Tahun 2017 tentang Akreditasi Rumah Sakit, bahwa akreditasi juga berfungsi untuk meningkatkan Mutu Pelayanan RS dan Melindungi Pasien. Karena itu, setiap RS yang mendapatkan izin operasional harus diregistrasi dan terakreditasi.
Mengamati 10 tahun jejak akreditasi RS sejak diundangkannya UU Rumah Sakit di era pra-JKN pada tahun 2009 hingga kondisi terkini lima tahun penyelenggaraan JKN oleh BPJS Kesehatan, terjadi hiruk pikuk terkait akreditasi rumah sakit dan penyelenggaraan JKN dan merebak sejak awal tahun 2019. Akreditasi sebagai persyaratan bagi rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan seharusnya diberlakukan sejak awal tahun 2014 seiring dengan pelaksanaan Program JKN-KIS. Namun dengan memperhatikan kesiapan rumah sakit, ketentuan ini kemudian diperpanjang hingga 1 Januari 2019 sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015 tentang perubahan PMK 71 Tahun 2013 Pasal 41 ayat (3). Pemerintah sudah berulangkali mengingatkan rumah sakit untuk melaksanakan akreditasi, seperti pada awal tahun 2019 lalu, Kemenkes sudah memberi kesempatan kepada rumah sakt yang belum melaksanakan akreditasi untuk melakukan pembenahan dan perbaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu Kemenkes juga telah memberikan surat rekomendasi kepada sejumlah rumah sakit mitra BPJS Kesehatan yang belum terakreditasi agar paling lambat 30 Juni 2019 ini sudah harus terakreditasi. Kemudian pada 11 Februari 2019, Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan juga sudah mengirimkan surat edaran dan pemberitahuan bagi rumah sakit agar segera terakreditasi agar tidak terkena pemutusan kerjasama dengan BPJS. Dalam proses pemutusan kerjasama dengan BPJS ini hendaknya mempertimbangkan pendapat Dinas Kesehatan dan/atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan setempat dan memastikan bahwa pemutusan kontrak tidak mengganggu pelayanan kepada masyarakat dengan melalui pemetaan analisis kebutuhan fasilitas kesehatan di suatu daerah.
Dalam
hal rumah sakit yang ingin bekerjasama dengan BPJS, kriteria teknis yang
menjadi pertimbangan BPJS Kesehatan untuk menyeleksi fasilitas kesehatan yang
ingin bergabung antara lain sumber daya manusia seperti tenaga medis yang
kompeten, kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, dan komitmen
pelayanan.
Beberapa kebijakan dilakukan oleh Kemenkes oleh karena batas
waktu wajib akreditasi rumah sakit menjelang pelaksanaan JKN tidak tercapai pada
waktu itu. Selama 5 tahun penyelenggaraan JKN (2014-2019), pelaksanaan
wajib akreditasi rumah sakit penuh toleransi. Untuk mendekatkan akses
Peserta JKN kepada rumah sakit, terpaksa BPJS Kesehatan membeli pelayanan
kesehatan bagi mereka tanpa mempersyaratkan hasil akreditasi mutu pelayanan
rumah sakit. Namun, BPJS Kesehatan tidak ingin memperpanjang batas toleransi
sehingga ketegangan antara BPJS Kesehatan dengan rumah sakit tak terhindarkan.
BPJS Kesehatan menggunakan “purchasing
power nya†untuk menghentikan kerjasama dengan rumah sakit yang tidak
terakreditasi atau yang tidak memperpanjang akreditasinya.
Pemberlakuan wajib akreditasi melalui JKN juga tidak sepenuhnya
tercapai. Kembali Menkes merevisi peraturan untuk mengulur waktu bagi
rumah sakit. Menkes menambah waktu lima tahun dari batas waktu sebelumnya pada
1 Januari 2017 menjadi 8 Januari 2021 melalui Pasal 41 ayat (3) Permenkes No.
99 Tahun 2015. Penguluran batas tenggat akreditasi mencapai 12 tahun
sejak UU Rumah Sakit diundangkan pada tahun 2009. Menkes melalui surat
edaran No. 3982/2017, mengingatkan bahwa paling lambat 1 Januari 2019 seluruh rumah
sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan harus terakreditasi.
BPJS Kesehatan tidak ingin lagi memperpanjang kompromi mutu
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Hingga akhir April 2019, BPJS
Kesehatan telah memutus kerja sama dengan 52 RS yang habis masa akreditasinya
dan menegaskan bahwa Kemenkes tidak akan meneruskan kerja asma dengan RS yang
tidak memiliki sertifikat akreditasi selamat-lamatnya pada 30 Juni 2019.
Pemutusan kontrak kerja sama antara RS dengan BPJS Kesehatan berbuntut
kisruh. Menyikapi pemutusan kontrak tersebut, Komisi IX DPR RI menggelar
dialog publik dan mendesak Kementerian Kesehatan, KARS, BPRS, dan seluruh
asosiasi RS untuk berkomitmen memenuhi tenggat waktu pemenuhan akreditasi RS
paling lambat 30 Juni 2019.
Persoalan keterlambatan
klaim memang menjadi masalah bagi operasional rumah sakit. Cash flow terganggu.
Tetapi itu bukan salah satu syarat kontrak kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Karena
pada prinsipnya Rumah Sakit dan BPJS Kesehatan sama-sama saling membutuhkan
atau simbiose mutualisme. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan dua surat
rekomendasi perpanjangan kontrak kerja sama bagi rumah sakit yang belum
terakreditasi melalui surat Menteri Kesehatan Nomor HK. 03.01/MENKES/768/2018
dan HK.03.01/MENKES/18/2019 untuk tetap dapat melanjutkan kerja sama dengan
BPJS kesehatan.
Surat rekomendasi
diberikan setelah rumah sakit yang belum terakreditasi memberikan komitmen
untuk melakukan akreditasi sampai dengan 30 Juni 2019. Perpanjangan kerja sama
dengan rumah sakit yang belum terakreditasi agar tetap dapat memberikan
pelayanan bagi peserta JKN. PERSI
menyambut baik kebijakan yang memihak pada kepentingan bersama baik masyarakat
peserta JKN, rumah sakit dan tentunya Pemerintah. Adanya tingkatan kelas rumah sakit yang didasarkan
pada kemampuan pelayanan juga mengindikasikan perbedaan kemampuan sumber daya
yang tersedia. Ditambah lagi disparitas ketersediaan sumber daya dan fasilitas
rumah sakit di berbagai wilayah Indonesia.
Semoga dengan semakin mendekati batas waktu
akreditasi rumah sakit yaitu 30 Juni 2019, akan dapat memacu rumah sakit yang
belum terakreditasi agar segera melaksanakan proses akreditasi sesuai ketentuan
yang berlaku. Bila mengalami kesulitan tentu saja dapat meminta bantuan Dinas
Kesehatan Kab/kota maupun Dinkes DIy untuk memberikan bimbingan menuju proses
akreditasi rumah sakit dengan hasil yang optimal. Semoga…….