Detail Artikel


  • 30 Maret 2016
  • 1.817
  • Artikel

TEPAT GUNAKAN OBAT

TEPAT GUNAKAN OBAT

Konsumen kesehatan perlu menyadari dan memahami pengetahuan dasar kesehatan sehingga cerdas menggunakan obat.

Siapapun pasti ingin kondisi tubunnya sehat selalu, akan tetapi, adakalanya kesehatan terganggu. Nah, ketika kita menyadari harus ke dokter, bukan berarti melulu bermaksud untuk berobat. Namun, persepsi yang perlu ditumbuhkan  adalah bahwa ke dokter itu adalah upaya konsultasi.

Menurut dr. Purnamawati Sujud, Sp.A (K), MMPaed., adapun tujuan dari konsultasi medis tersebut adalah untuk mencari penyebab masalah kesehatan yang dialami dan menentukan penanganannya bersama-sama antara pemberi dan penerima jasa layanan kesehatan.

Artinya jalan mencari solusi ini belum tentu mesti diselesaikan dengan obat. Kalaupun memeng diperlukan obat, hal utama yang perlu diperhatikan adalah penyebab gangguan kesehatan tersebut.

Kenapa demikian?” Karena cara pengobatan yang rasional itu berawal dari masalah yang terjadi. Maka pasien atau konsumen jasa layanan kesehatan perlu berpikir lebih bijak, hindari untuk terlalu terburu-buru meminta diresepkan obat dan pastikan sumber masalah kesehatan tidak semata-mata melihat gejala yang muncul,” papar Purnamawati.

Utamakan Keselamatan

Perlu kita tahu, prinsip layanan kesehatan yang utama dan terbaik adalah yang cost effective . Artinya, layanan yang mengedepankan unsur safety (keselamatan), buka semata keampuhannya. Dalam hal ini, kata bijak menjadi kunci. Sadar tak sadar, kita mungkin pernah atau sampai sekarang masih menggunakan obat-obatan secara tak rasional.

Nah, ada lima bentuk penggunakan obat tak rasional. Pertama polifarmasi yaitu pemberian beberapa obat sekaligus secara bersamaan. Kedua penggunaan antibiotika berlebihan. Ketiga, pemberian resep obat nongenerik yang tinggi. Keempat, pemberian obat injeksi. Kelima, pemberian obat-obat yang sebetulnya tidak perlu, misalnya vitamin atau suplemen.

“ Yang seri terjadi adalah polifarmasi dan antibiotika yang berlebihan”, tegas Purnamawati. Contoh konkret, anak mengalami deman, batuk dan pilek. Umumnya, si Kecil langsung diberi obat. Bahkan, ada yang memberikan antibiotika. Pada hal, lanjutnya, itu adalah gejala, belum diketahui muara penyakitnya. ” kebanyakan gejala tersebut adalah karena infeksi virus yang notabene tak ada obatnya. Toh, yang dapat memerangi virus sebenarnya daya  tahan tubuh. Dengan istirahat cukup banyak minum, kelak  sembuh sendiri.”

Disayangkan pula, data Riset Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan, 35,2 persen masyarakat Indonesia menyimpan obat konversional untuk pengobatan sendiri, terlebih obat keras dan antibiotika. Mirisnya, 86,1 persen dari masyarakat yang menyimpan obat tersebut mendapatkannya tak berdasarkan resep dokter.

Kapan Perlu Antibiotik?

Seandainya kita sakit yang disebabkan bakteri dan butuh obat antibiotika, tentu tak bisa sembarangan memberi dan mengonsumsi antibiotika. Lakukan konsultasi medis dengan  dokter dan membeli obat dengan resep dokter.

Patuhi juga aturan mengonsumsi obat, misalnya antibiotika harus dihabiskan. Hindari berbagi antibiotika  dengan orang lain. “ Sadari bahwa antibiotika untuk mengobati infeksi bakteri. Bukan untuk mencegah infeksi bakteri atau mengobati infeksi virus. Keliru juga bila berbagai obat dengan orang lain, entah itu saudara atau teman, karena tiap orang memiliki antibodi tersendiri dengan pengobatan yang berbeda, plus dosis obatnya pun berlainan.” (fm)

Kontak Kami

JL. Gondosuli No.6 Yogyakarta Kota Yogyakarta DIY 55231 Indonesia
dinkes@jogjaprov.go.id
+62274563153
(0274)512368

Kunjungan

  • Hari Ini

  • 12.026
  • Bulan Ini

  • 1.728.429
  • Total Kunjungan

  • 20.908.893