Kajian Strategis Dokter Layanan Primer
Dunia Kedokteran Indonesia dari tahun ke tahun terus berubah, seiring
dengan peraturan baru dari pemerintah yang tergolong sangat berani.
Perubahan yang saat ini menjadi pembahasan salah satunya Dokter Layanan
Primer (DLP). DLP masuk ke dalam UU no 20 tahun 2013 yang mengatur
tentang Pendidikan Kedokteran. Perbincangan tentang DLP terus bergulir
sejak saat itu dan menjadi perdebatan oleh organisasi – organisasi
kedokteran di Indonesia.
DLP disebut – sebut sebagai dokter umum setara spesialis. Penamaan
tersebut mengundang banyak kontroversi karena tidak mungkin
menspesialisasi sesuatu yang general atau umum. Ditambah lagi kompetensi
dari Dokter Umum dan Dokter Layanan Primer tidak memiliki perbedaan
yang signifikan. Masalah yang paling utama dan menjadi perhatian dari
organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Mahasiswa Indonesia adalah
kejelasan nasib dokter umum yang akan lulus dan yang sudah lulus.
Kehadiran DLP dapat membuat masyarakat lebih tidak percaya terhadap
kualitas dokter umum yang ada di Indonesia. Hal ini akan berdampak buruk
bagi dunia kesehatan Indonesia. Padahal perbedaan kompetensi antara
dokter umum dan DLP secara jumlah penyakit berbeda tipis yaitu 144 untuk
dokter umum dan 155 untuk DLP. DLP juga dibedakan karena memiliki
kemampuan lebih yaitu ilmu kedokteran komunitas dan keluarga serta
komunikasi. Ilmu – ilmu tersebut adalah ilmu diluar penyakit yang
seharusnya dapat diperdalam melalui workshop atau seminar tidak perlu
membuat program studi baru. Sehingga sejatinya Dokter Umum dan DLP tidak
memiliki perbedaan namun berpotensi menyebabkan masalah.
Pembukaan dokter layanan primer menurut IDI akan meningkatkan
pengeluaran APBN karena simulasi untuk pelaksanaan DLP memerlukan 30-50
tahun belum termasuk lulusan dokter umum yang lulus tiap tahun
bertambah. Melihat hal tersebut pemerintah seharusnya dapat menilai
bahwa DLP merupakan program yang membutuhkan waktu panjang dan uang yang
tidak sedikit tapi hanya menghasilkan perubahan yang kurang signifikan
dan cenderung menimbulkan masalah kedepannya. Bila dilihat dari segi
kompetensi, dokter umum sudah cukup untuk berkerja pada fakses 1 atau
layanan primer hanya membutuhkan penyebaran agar merata.
Dokter layanan primer akan menghasilkan lulusan yang jauh lebih sedikit
dari lulusan dokter umum yang kurang lebih 8000/tahun. Isu lain yang
juga memberatkan dokter umum nantinya adalah BPJS hanya akan berkerja
sama oleh dokter layanan primer, sehingga mau tidak mau dokter umum yang
tidak mencari spesialisasi akan mencari dokter layanan primer tapi
apakah mampu pendidikan dokter layanan primer menampung seluruh dokter
umum? tentunya tidak, lalu bagaimana nasib dari dokter umum yang tidak
bisa mengambil spesialisasi dan DLP? Selain masalah kuota, penamaan
gelar dan pekerjaan dari dokter layanan primer tidak berhubungan dan
cenderung tumpang tindih dengan pekerjaan dari dokter umum.
Nama DLP menurut IDI tidak dikenal di dunia internasional. Dokter
Layanan Primer di Negara lain memiliki arti kumpulan dari dokter yang
melayani di fasilitas kesehatan primer yang didalamnya berisikan dokter
umum, dokter keluarga, dan dokter spesialis lainnya. Gelar dari dokter
layanan primer menurut Dr. dr. Czeresna. H. Soedjono, Sp.PD-KGer adalah
Sp.FM (Spesialis FAMILY MEDICINE) yang artinya DLP lebih cocok
disandingkan dengan dokter keluarga. Pekerjaan yang diberikan untuk DLP
seharusnya dapat dilakukan oleh dokter umum contohnya mengutamakan
preventif seperti mengenal prevalensi dari penyakit di lingkungan faskes
serta merancangkan program pencegahan sebelum terkena penyakit. Semua
hal tersebut dapat dilakukan oleh dokter umum, tetapi kehadiran dokter
layanan primer nanti berpotensi mengambil lapangan pekerjaan dari dokter
umum.
Dokter layanan primer bukan jawaban untuk Indonesia. Masih banyak hal
yang dapat diselesaikan terlebih dahulu, seperti moratorium FK, hentikan
komersialisasi dunia kedokteran, pemerataan dan penyediaan fasilitas
kesehatan dan juga para dokter umum. Pembukaan DLP dapat menimbulkan
masalah sebagai berikut :
Pemborosan APBN
Tata kerja terganggu di tingkat primer karena tidak ada batas jelas
pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh DLP. Sehingga dokter umum dan
DLP cenderung tumpang tindih
Masyarakat akan memandang sebelah mata dokter umum karena menganggap
kemampuan DLP seperti spesialis lainnya yang artinya lebih baik dari
dokter umum.
Dokter umum yang bekerja di primer akan kehilangan pekerjaannya
digantikan oleh DLP, sedangkan kuota dokter umum jauh lebih besar dari
DLP
Melihat masalah tersebut Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana menolak pelaksanaan Dokter Layanan Primer, dan
mendorong untuk :
RUU PERUBAHAN untuk UU No.20 tahun 2013 masuk program prioritas legislasi nasional (PROLEGNAS)
Penghentian segala bentuk aktivitas Dokter Layanan Primer di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Adapun solusi yang dapat ditawarkan untuk perbaikan sektor kesehatan dan kedokteran Indonesia :
APBN untuk DLP lebih baik dialihkan untuk penyediaan sistem infrastruktur kesehatan yang lebih baik
Dokter umum digerakkan untuk melayani di pelayanan primer
Materi yang terkandung dalam DLP lebih baik dibuat menjadi seminar dan
workshop atau dibuat menjadi fellowship tidak menjadi program studi
Program studi DLP lebih baik disesuaikan dengan gelarnya yaitu
spesialisis dokter keluarga (Sp.FM) dan fungsinya disesuaikan dengan
gelar spesialisasi tersebut yaitu pendalaman dan pendekatan pada
keluarga yang ditugaskan, bukan membahas dikaitkan dengan pekerjaan di
faskes primer yang menjadi tugas dokter umum.